GOBLEG-PENGRAJEG

Desa Gobleg yang warganya diyakini sebagai turunan kraman Dalem Tamblingan. Hingga kini, masyarakat di belahan barat Danau Tamblingan ini tetap mempertahankan struktur masyarakat beserta tugas masing-masing. Gelar dan jabatan petinggi di Gobleg bukan berdasarkan pemilihan langsung, memang, melainkan atas garis keturunan.
Sesuai tradisi yang diwarisi masyarakat Indu Gobed—sebutan awal masyarakat Tamblingan yang mengungsi ke Gobleg—dari Gobleg lamat-lamat masyarakat Indu Gobed terpencar ke empat desa: Desa Gobleg, Munduk, Umajero, dan Gesing. Sejalan dengan berpencarnya warga, sebutan Indu Gobed pun tak lagi dipergunakan—pimpinan tertinggi berada di tangan pamucuk adat yang disebut pangrajeg.
Status pangrajeg hanya boleh disandang keluarga lelaki pertama keturunan puri di Gobleg. Keluarga puri ini oleh masyarakat setempat diyakini sebagai trah (turunan) Ida Dalem Tamblingan atau Ida Dalem Bahem sebagai penguasa i kraman Tamblingan.
Pangrajeg punya lima fungsi utama, lumrah disebut Ida Manca Warna. Tiap fungsi memiliki sebutan berbeda pula. Sebagai pemimpim masyarakat (ngambel krama) disebut Ngurah Bandesa. Saat menjalankan tugas mengelola keuangan (ngambel jinah) dinamakan Ngurah Manca Trawa. Waktu menjadi pamuput semua jenis karya (pancayajnya), diberi gelar Ngurah Panyarikan.
Berbeda antara gelar panyarikan di Bali Selatan dengan di Gobleg. Di Bali Selatan, status panyarikan lebih berfungsi sebagai juru tulis (sekretaris). Namun, dalam adat Dalem Tamblingan, tutur Jero Made Naja, Klian Adat Gesing, gelar panyarikan hanya diperuntukkan bagi orang yang berhak muput karya pancayajnya, semua jenis upacara yajnya.
Gelar lain pangrajeg adalah Guru Sakti. Ini khusus dalam fungsinya sebagai pamuput ( panganteb ) karya. Terakhir, menjadi Bun Bumi yang bertugas ngalukat gumi (meruwat jagat).
Khusus pada struktur politik dan kekuasaan, pangrajeg dalam status sebagai Ngurah Bandesa Dalem Tamblingan mempunyai bawahan Ngurah Pacek Dalem Tamblingan yang berwenang macekin karya . Di bawah Ngurah Pacek ada Mangku Agung Dalem Tamblingan yang berhak dan berkewajiban mengatur juru sapuh (pamangku).
Urutan selanjutnya, ada Ngurah Pangenter Dalem Tamblingan, berfungsi ngénterang , sebagai penggerak upacara. Di bawahnya baru Ngurah Pangengeng Dalem Tamblingan, bertugas memberitahu atau juru penerang (semacam humas kini) kepada warga terkait dengan berbagai jalan upacara yajnya. Lalu, Ngurah Kubayan Dalem Tamblingan menjaga keamanan sekaligus memimpin generasi muda (taruna-teruni).
Menurut Jero Mangku Putu Darma, salah satu tokoh adat Catur Desa Dalem Tamblingan, pada kegiatan tertentu, seperti malasti , peran anak-anak muda tak terelakkan. Mereka bertugas mengusung tigasana: tedung, lalontek , dan pratima (arca). Pengaturannya diserahkan penuh kepada Ngurah Kubayan sebagai pamucuk sekaa taruna , kaum muda.
Terakhir, ada Ngurah Nyarita Dalem Tamblingan. Inilah jabatan orang yang memiliki kewenangan mengatur berbagai jenis kesenian.
Teramat jelas memang struktur dan tugas warga di Desa Gobleg. Warga yang duduk dalam struktur kekuasaan pun tak sembarangan, lebih-lebih asal comot. Semua menganut garis keturunan. Tiap orang yang duduk dalam struktur memiliki kewenangan sesuai tupoksi (tugas pokok dan fungsi). Tak ada saling sikut, saling mendahului, apalagi mencampuri kewenangan yang lain. Kecuali ada pelimpahan langsung dari yang bersangkutan, barulah tugas dari pihak lain diambil.
Bagi Jero Mangku Darma, secara hirarkis maupun kewenangan, pangrajeg memang menjadi penentu. Bukan sebatas terkait dewa yajnya atau pada sistem pemerintahan semata, bahkan saat warga sajebag caturdesa (Gobleg, Munduk, Gesing, dan Umajero) hendak melaksanakan kegiatan keagamaan lain, seperti pitrayajnya pun, terlebih dahulu patut menghadap pemucuk adat Dalem Tamblingan ini. Di sini memohon hari baik sekaligus nunas tirta.
Permohonan warga selanjutnya akan dicocokkan dengan tradisi yang berlaku. Bila melenceng dari aturan, misalkan, upacara pangabenan tak sesuai sasih yang berlaku menurut tradisi, maka pangrajeg tentu tak berani memberi restu. Koreksi pun akan dilakukan menurut tradisi tua Tamblingan.
Dengan kewenangan penuh begitu, seorang pangrajeg tradisi Dalem Tamblingan sudah sepatutnya mumpuni dalam wawasan adat, budaya, agama, termasuk mahir ilmu alam, manajemen sosial, hingga olah rohani. Tanpa begitu pangrajeg pelan-pelan niscaya akan menghadapi gejala otoritas dan kharisma yang kian menyusut. Ujung-ujungnya, tradisi tua Tamblingan yang berkesadaran alam itu pun akan luntur, ditinggalkan anak-anak zaman—yang terus bergerak, berubah.