DESA GOBLEG
Dipublish khusus untuk masyarakat yang ingin mengetahui lebih jauh mengenai Catur Desa yang berlokasi di kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng-Bali.
Catur Desa
UPACARA PITRA YADNYA DI GOBLEG (KENAPA TIDAK DIBAKAR..??)
MENGENAL KAWITAN PEMELUK SIWA MUKA BULAKAN DALEM TAMBLINGAN GOBLEG
Siwa Muka Bulakan Dalem Tamblingan Gobleg adalah sebuah organisasi pesiwaan, berkedudukan di desa Gobleg, kecamatan Banjar, kabupaten Buleleng. Organisasi ini merupakan wadah seluruh warga pemeluk Siwa Muka Bulakan Dalem Tamblingan Gobleg dalam rangka memahami, menghayati, melaksanakan dan menegakkan pelaksaan Panca Yadnya yang selaras dengan dresta dan ajaran Agama Hindu.
Penulisan blog “Mengenal Kawitan Pemeluk Siwa Muka Bulakan Dalem Tamblingan Gobleg” ini dikutip dari buku yang bersumber dari Litbang PSMBDTG yang sebelumnya bersumber juga dari :
1. Pustaka Pemancangah Raja Purana Kakandan Hindu Reka, katureksa antuk Mangku Ketut Ngarsa, desa Sinabun, kecamatan Sawan, kabupaten Buleleng, dan Nyoman Sukandia, desa Kedis, 28 Juli 1954.
2. Prasasti atau Silsilah Reka Hindu ke Nusantara oleh Ida Pandita Agung Bodikawya, kagentosin antuk bahasa Bali lumrah oleh Drs.Gede Antara, Jakarta dan bapak Bagus Putu Mastra, Banjar Singaraja 14 Juli 1976.
3. Kandan Sanghyang Mreta Jati.
4. Babad Hindu Gobed, katureksa antuk I Ketut Suwidja, 20 Agustus 1973.
Untuk lebih jelasnya hal-hal mengenai yang dimaksudkan sesuai dengan judul akan saya paparkan per sub judul agar lebih mudah dipahami. Silahkan klik sub judul yang mana yang ingin anda ketahui lebih mendalam. Namun untuk bisa lebih memahaminya, ada baiknya anda baca dari awal karena itu akan memberikan pemahaman yang jauh lebih sistematis.
KISAH KETURUNAN ARYA di DAERAH PUNJAB KASMIR INDIA UTARA
Kisah keturunan Arya di daerah Punjab Kasmir India Utara ini disampaikan oleh Ida Sri Pandita Agung Bagawanta Bodikawya kepada para muridnya pada tahun çaka 1403 di Gunung Mahameru India. Beginilah tutur beliau kepada para muridnya.
Dahulu kala sebelum tahun çaka dimulai, tersebutlah seorang raja bangsa Hindu keturunan Arya dari Punjab Kasmir, dekat dengan sungai Gangga India. Beliau berasal dari Asia Tengah yaitu Gunung Himalaya. Raja tersebut bernama Prabu Wira Aji Suryaningrat yang sangat terkenal pada saat itu. Beliau mempunyai permaisuri yang bernama I Dewa Ayu Sri Dualawati Mahadewi, putri dari Prabu Dewata Cengkar yang juga bangsa Hindu keturunan Dravida. Dari perkawinan itu beliau dikaruniai tiga orang putra dan seorang putri. Putra yang pertama bernama Sri Wirajaya Satruning Bumi, yang kedua bernama Sri Kesari Warma Dewa, yang ketiga bernama Sri Wira Tamblingan, dan yang terakhir bernama Dewa Ayu Amertaning Puri.
Prabu Wira Aji Suryaningrat beserta permaisuri dan putra-putrinya sangat bahagia dan damai selalu. Untuk mengemban putra-putrinya beliau dibantu oleh dua orang emban (parekan) yang bernama I Bagejo dan I Daulat yang sangat beliau sayangi. Berkat ketelitian dan ketekunan kedua emban ini, keempat putra dan putri beliau tumbuh dan berkembang menjadi dewasa. Melihat putra putrinya telah dewasa, sebagaimana aturan pada saat itu timbullah keinginan Prabu Wira Aji Suryaningrat dan permaisurinya untuk menugaskan ke-tiga putranya ke nusantara diiringi oleh embannya I Bagejo dan I Daulat.
Keinginan beliau berdua ini akhirnya disampaikan kepada Ida Prabu Dewata Cengkar untuk memohon persetujuan lewat surat yang diantarkan oleh parekan beliau I Bagejo dan I Daulat. Untuk mengetahui kesaktian kedua parekan tersebut dalam mengemban cucunya ke nusantara, timbullah keinginan beliau untuk mencoba kesaktian kedua parekan itu. Kedua parekan tersebut disuruh bertarung untuk membuktikan kesaktiannya masing-masing. Setelah bertarung untuk mencoba kesaktian, akhirnya wafatlah kedua parekan itu karena memiliki kasaktian yang sama kuat. Wafatnya kedua parekan tersebut menyebabkan Prabu Dewata Cengkar dan Ida Sri Maharaja Wira Aji Suryaningrat sangat bersedih.
Kedua parekan yang telah meninggal tersebut masing-masing meninggalkan dua anak laki dan perempuan. I Bagejo menurunkan putra yang bernama I Dananjaya dan putri bernama Ni Wancingan. Serta I Daulat menurunkan putra yang bernama I Ulung dan putri bernama Ni Ulika.
Dalam suasana masih berduka, selanjutnya jasad kedua parekan tersebut dikremasi, diupacarakan sebagaimana layaknya pada saat itu. Keadaan ini didengar oleh Sri Maha Pandita Bagawanta Dwijaksara, yang juga bangsa Hindu keturunan arya. Berkat ketajaman meditasi beliau dan sudah merupakan kehendak Ida Sang Hyang Widhi Wasa, tahun wafatnya I Bagejo dan I Daulat diperingati sebagai awal tahun çaka.
Disamping untuk mengenang jasa kedua parekan yang sangat sayang kepada putra-putrinya, Prabu Sri Maharaja Aji Suryaningrat dengan petunjuk Ida Sri Maha Pandita Bagawan Dwijaksara menjadi ungkapan ha, na, ca, ra, ka, da, ta, sa, wa, la, pa, da, ja, ya, nya, ma, ga, ba, ta, nga, sebagai hulu dari 20 aksara dan sekaligus saat wafatnya kedua parekan itu dihitung tahun 1 çaka.
Setelah selesai peringatan wafatnya kedua parekan tersebut oleh Ida Sri Wira Aji Suryaningrat dinobatkan menjadi Sri Dalem Wira Aji Saka Suryaningrat. Oleh karena putra-putrinya sudah dewasa, dan keinginan beliau untuk mengutusnya ke nusantara tidak pernah pudar, maka sebelum diutus ke nusantara ketiga putra-putrinya dinikahkan terlebih dahulu.
Sri Wira Jaya Satruning Bumi dinikahkan dengan Pamurnaningrat, Sri Wira Kesari Warma Dewa dengan Dewi Udayani, Sri Wira Tamblingan dengan Dewi Amerta Sari, dimana semua istri-istri ini adalah bangsa India keturunan Dravida. Setelah upacara pernikahan selesai, ketiga putranya ini memperoleh gelar DALEM. Keempat parekan keturunan I Bagejo dan I Daulat yaitu I Dananjaya, Ni Wancingan, I Ulung, dan Ni Ulika mengantarkan ke nusantara.
“KESAHNYA” KETURUNAN ARYA ke NUSANTARA
Pada Purnama ke Dasa, tepatnya hari rabu tahun çaka 11, diutuslah ketiga putra Ida Dalem Aji Saka Suryaningrat oleh Sri Maha Pandita Bagawanta Dwijaksara ke Nusantara. Perjalanan beliau bertiga beserta keempat parekan yang dijadikan satu “cepak besi kuning”. Pertama menuju pulau Kanci (pulau Sumatra sekarang). Di pulau inilah beliau membuat pasraman, selanjutnya berputra lima orang dan parekan pengiringnya berputra 12 orang laki-perempuan yang selanjutnya menjadi penghuni tetap pulau Kanci (Sumatra).
Pada tahun çaka 51 diceritakan bahwa beliau bertiga berpindah menuju tempat yang memiliki tumbuh-tumbuhan sejenis padi yang bernama pulau Pari Jawawut (pulau Jawa sekarang). Di pulau inilah selanjutnya beliau bertiga membangun pasraman yang diberi nama Dewa Karta Membah yang disebut Surakarta (Solo). Dalam pasraman ini, Ida Dalem yang pertama Sri Wira Jaya Satruning Bumi perputra enam orang, laki perempuan. Dalem yang ke-tiga Sri Wira Tamblingan berputra seorang laki-laki. Parekan yang dicepak besi kuning berputra delapan orang, laki perempuan.
Lama kelamaan entah bagaimana pertimbangan beliau bertiga, akhirnya hanya Dalem Wira Jaya Satruning Bumi yang tinggal di Solo, yang selanjutnya menurunkan keturunan yang menguasai pulau Jawa. Sedangkan adik beliau Ida Dalem Kesari Warmadewa dan Ida Dalem Wira Tamblingan pindah ke arah timur menuju Tanjung (Hnjung) Sanur Tahun çaka 125. Dari pantai Sanur beliau melanjutkan perjalanan menuju Gunung Selonding-Besakih dan memilih tempat pesraman di Dalem Puri. Di tempat inilah beliau berdua berstana sampai dengan tahun çaka 131, yang selanjutnya Ida Dalem Wira Kesari Warmadewa memasuki Dinasti Sri Kesari Warmadewa di Bali dengan alur sebagai berikut :
1. Sri Kesari Warma Dewa dengan keraton Singadwala ( .... – 915 )
2. Sri Ugrasena Warma Dewa ( 915 – 942 )
3. Candra Bhaya Singa Warma Dewa dengan keraton Tirta Empul ( 942 – 989 )
4. Darmodayana Warma Dewa dengan permaisuri Gunaprya ( 989 – 1022 )
5. Anak wungsu Warma Dewa ( 1022 – 1077 )
6. Putri Sekala Indu Karana ( 1077 - ....)
7. Sri Jaya Pangus ( abad ke-12 )
8. Sri Eka Jaya ( abad ke-13 )
9. Asta Asura Bumi ( .... – 1343 )
10. Keluarga Pasek Gelgel ( 1343 – 1350 )
Kemudian berkembang Dinasti Kresna Kepakisan Bali Dengan runtutan sebagai berikut :
1. Dalem Ketut Kresna Kepakisan ( Samprayangan – Gianyar ) ( 1350 – 1380 )
2. Dalem Ketut Ngulesir ( Gelgel – Klungkung ) ( 1380 – 1460 )
3. Dalem Watur Enggong ( Gelgel – Klungkung ( 1460 – 1550 )
4. Dalem Bekung ( Gelgel – Klungkung ) ( 1550 – 1580 )
5. Dalem Sagening ( Gelgel – Klungkung ) ( 1580 – 1665 )
6. Dalem Dimade ( Mengwi ) ( 1665 – 1686 )
7. Gusti Agung Maruti ( 1686 - .... )
8. Dalem Jambe ( Semarapura – Klungkung ) ( 1700 - .... )
Sedangkan Ida Dalem Wira Tamblingan kesah dari Daem Puri menuju hutan yang ada danaunya, yang oleh beliau diberi nama Alas Amerta Jati.
BERKEMBANGNYA KETURUNAN DALEM di PALEMAHAN ALAS AMERTA JATI dan PAWIDANGAN SANANTALA LABUH
Sementara Ida Dalem Kesari Warma Dewa menurunkan dinasti Warma Dewa, yang dilanjutkan dengan Keluarga Pasek Gelgel, kemudian Dinasti Kresna Kepakisan seperti disebutkan di atas, Ida Dalem Wira Tamblingan membangun pasraman di Alas Amerta Jati, tepatnya di tepi danau Tamblingan setelah kesah dari Dalem Puri.
Sekitar 20 tahun lebiih beliau beserta pengiring-pengiringnya yang di ajak turun ke Nusantara membangun pesraman yang menjadi kebanggaan kedua Dalem waktu itu. Ida Dalem Kesari Warma Dewa menjadi Ulun Amerta di daerah Bali selatan, sedangkan Ida Dalem Wira Tamblingan menjadi Ulun Amerta di belahan Bali utara.
Demikian kuatnya beliau pada waktu itu, sampai-sampai memasuki tahun çaka 235 musuh yang datang dari jagat Hindu yang ingin mengganggu ketentraman beliau berdua dapat dikalahkan. Sejak kalahnya musuh beliau berdua inilah tempat Ida Dalem berstana dinamakan JAGAT BALI.
Selanjutnya marilah kita ikuti pesraman Ida Dalem Wira Tamblingan di Alas Amerta Jati beserta isrti beliau Dewi Amerta Sari setelah berpisah dengan kakaknya Ida Dalem Kesari Warma Dewa. Sebetulnya perkawinan beliau dengan Dewi Amerta Sari telah dikaruniai seorang putra yang bernama Dalem Maojog Mambek, namun tinggal dengan Ida Dalem Sri Wira Satruning Bumi di solo. Tetapi setelah berstana lebih dari 20 tahun di Alas Amerta Jati ternyata belum dikaruniai putra lagi, sehingga beliau berkeinginan untuk memanggil putra beliau Dalem Maojog Mambek ke Bali.
Keinginan tersebut beliau sampaikan kepada kakak beliau di Solo dan kakak beliau sangat setuju, lebih-lebih maksud mengundang putranya adalah untuk menata pasraman di Tamblingan yang telah banyak mengalami perubahan-perubahan pada waktu itu. Berkat kekuatan kedua ayahn’danya baik yang di Solo maupun di Tamblingan akhirnya tibalah Ida Dalem Maojog Mambek di Tamblingan dengan selamat disambut oleh pengiring-pengiring Ida Dalem Wira Tamblingan.
Pengiring-pengiring beliau adalah keturunan dari I Bagejo dan I Daulat seperti yang telah dijelaskan di depan dan telah berkembang menjadi 16 pasek yang merupakan satu kesatuan Paguyuban Alas Amerta Jati. Ke-16 pasek tersebut yaitu ;
1. Pasek Dana Jaya
2. Pasek Ulung
3. Pasek Ulumerta
4. Pasek Ulika
5. Pasek Pemancingan
6. Pasek Kenca
7. Pasek Ulu Jaya
8. Pasek Tamblingan
9. Pasek Jaya Kesuma
10. Pasek Gawa
11. Pasek Batur Sari
12. Pasek Batu Lepang
13. Pasek Batu Laga
14. Pasek Watu Selem
15. Pasek Keladian
16. Pasek Selulung
Karena terjadi letusan gunung berapi dan bencana alam tanah longsor yang sangat hebat pada waktu itu, Ida Dalem Tamblingan menyadari sepenuhnya bahwa putra beliau tidak akan mungkin melanjutkan kehidupan di Tamblingan. Lagi pula beliau pada saat itu telah tiba saatnya dalam waktu dekat akan ke Alam Sunia. Agar dinasti Tamblingan beserta pengiring-pengiringnya tetap terjaga, maka dipanggillah putranya dan beliau bersabda “ Anakn’da Dalem, sekarang anakn’da sudah dewasa dan sudah saatnya beristri, disamping sudah saatnya Ibu beserta Aji untuk kembali ke Swarga Loka. Ini Ibu beserta Aji telah mempersiapkan tetegenan dan buah labu dengan sanan tebu. Pergilah dan pikul seperangkat tetegenan ini, jalanlah terus, nanti dimana sanan tebu itu patah dan labu itu jatuh berstanalah Anakn’da di sana. Bersamaan dengan itu akan datang seorang gadis yang sangat cantik , itulah yang akan menjadi istri Anakn’da. Tempat jatuhnya tetegenan itu sebutlah SANANTALA LABUH”.
Setelah beliau berkata demikian, pada tahun çaka 260 moksalah Ida Dalem Wira Tamblingan beserta istri beliau di tepi danau Alas Amerta Jati, dan mulai saat itu danau tersebut diberi nama Danau Tamblingan.
Sepeninggal Ida Dalem Wira Tamblingan beserta istri beliau, untuk menghormati bisama dari Ayahn’danya berangkatlah Ida Dalem Maojog Mambek memikul tetegenan yang telah dipersiapkan keluar dari kawasan Tamblingan. Beliau berjalan terus, berjalan, dan berjalan bersama pengiringnya yang sudah dipersiapkan sesuai dengan pesan Ayahn’danya.
Setelah melintas pada suatu tempat di lereng bebukitan, sanan yang dibuat dari tebu itu patah di tengah-tengah dan kedua buah labu jatuh. Selanjutnya timbullah dua buah Bulakan dengan air yang sangat jernih. Bersamaan dengan itu muncullah seorang putri yang sangat cantik dan atas pesan Ayahn’danya dinamakan putri Sarin Tahun.
Tidak begitu jauh dari tempat labu itu jatuh di tempat yang agak datar dan subur, akhirnya beliau dengan pengiring-pengiringnya mendirikan pesraman dan diberi nama Puri Sanantala Labuh. Karena sudah merupakan jodoh yang dikehendaki oleh’Nya sesuai pesan Ida Dalem Wira Tamblingan, akhirnya kawinlah Ida Dalem Maojog Mambek dengan Putri Sarin Tahun pada tahun çaka 262.
Bulakan yang muncul sesuai dengan bisaa Ayahn’danya akhirnya diemban menjadi Pura Bulakan, dan tempat beliau berstana dengan pengiring-pengiringnya diberi nama PURI SANANTALA LABUH, di palemahan Gobleg sekarang dengan penuh kedamaian.
Buah perkawinan beliau dikaruniai seorang putra yang diberi nama Sri Dalem Wira Bumi. Sri Dalem Wira Bumi sebagai generasi ke tiga dari Dinasti Dalem Tamblingan tumbuh dan berkembang menjadi remaja di bawah bimbingan Ida Dalem Maojog Mambek beserta istri beliau, sambil ngemban Pura Bulakan dimana telah tercipta Tirta Predana Urip dan Tirta Predana Pati. Seluruh paguyuban Puri Sanantala Labuh dalam melaksanakan panca yadnya menggunakan kedua Tirta Bulakan tersebut untuk muput yadnya, sehingga terjadilah kedamaian yang luar biasa pada waktu itu. Puri Sanantala Labuh berkembang dengan pesat, bahkan sudah terjadi hubungan balik dengan dinasti Ida Dalem Sri Wira Jaya Satruning Bumi di Solo yang menguasai jagat jawa pada saat itu.